The Lost Book
Terlalu lama ia belum menuntaskan hutang yang sudah lama ada sejak aku duduk di kelas delapan itu. Hutang yang sejak dulu selalu ia minta potong dan dicicil setiap harinya karena kebutuhan sangu yang pas-pas-an. Mungkin ini sedikit memaksa, tapi "Hutang itu harus dibayar." Memang terlalu berlebihan untuk dikatakan, setiap hari ia memberikanku uang jajanannya sebesar Rp. 2.000,- saja, sedangkan sisanya untuk bayar angkutan dan belanjaannya. Ia memulai hutangnya sejak buku yang aku pinjam ke dia telah hilang di dalam kelas sejak ia lupa membawanya pulang dan membirakannya di dalam laci meja sendirian tanpa ada yang menemani.
Ini seperti dugaan bahwa hanya mitos yang dibuang begitu saja, tapi aku juga tidak memaksanya untuk membayar lebih cepat di hari lain, yang ku mau hanya hutang yang ia genggam harus tuntas, lekas.
Kau tahu, buku itu adalah yang pingin aku baca setelah kau menghilangkannya tanpa sengaja, walaupun hanya kumpulan cerpen tapi aku belum membacanya sampai bab terakhir, dan itu pun masih di tengah jembatan yang renggang bergoyang tapi sukar untuk melangkah (membaca lagi) seperti aku tidak ada waktu untuk membaca. Sebelum sampai di akhir bab pun aku tetap melihat semua profil penulisnya. Cover depan dan belakang selalu aku tatap dan baca berulang-ulang, seolah-olah tidak bosan. Duh, aku terlalu memikirkannya sampai-sampai ingin marah, cukup sudah. Aku tidak harus serius memikirkan itu, itu hanya buku yang tidak sewajibnya aku baca. Buku novel adalah buku yang paling aku suka dibanding buku pelajaran yang terkadang kalimatnya kaku. Tapi tidak dengan buku matematika, walau paham sedikit tapi aku menyukainya dengan berpikir puluhan taktik untuk bisa mendapatkan jawaban dari teka-tekinya walaupun keluar jalur dengan contoh cara yang tertera pada lembaran itu. Ada saatnya aku menyerah dan putus asa untuk mencari jawabannya. Kau tahu, aku suka dengan pelajarannya. Tante ku yang sering datang ke rumahku selalu menerima PR yang aku anggap susah. Tapi, mungkin sudah cukup buatku untuk tidak mengganggunya lagi, karena tante selalu membantu ibuku memasak di dapur.
.......
Bagaimana cara kita bisa tahu pelakunya kalau dia tidak tahu apa-apa untuk bisa sedikit menyelidiki bagaimana cara mereka bisa mengambil buku itu. Coba-coba sedikit menjadi detektif, walau begitu tetap kegangjalan itu tidak membekas. Sehabis ia pulang, pada kakak kelas sembilan ada bimbel di dalam kelasnya, mereka mengambilnya tanpa jejak setelah temanku menduga bahwa keesokan harinya saat ia kembali duduk di situ, ternyata hilang. Bagaimana ini?!
........
Kapan lagi ia harus membayar Rp. 2.000,- Setiap harinya?
Akankah harus terhenti sampai Rp. 9.000,- setelah ia setengah mati meminta kepadaku untuk mengurangi jumlah hutangnya dari harga Rp. 57.500,- sampai Rp. 30.000,- ?
Beberapa orang pasti akan beranggapan malas jika ada hal seperti itu yang bisa menguras uangnya dan berpura-pura tidak bisa bayar hari ini. Sedikit apapun uang itu, hutang harus tetap dibayar.
Jika kau tidak sanggup membayar dengan harga yang sebanding dengan harga angkutan, seribu pun tak masalah bagiku. :)
Forget-Me-Not,
Aku tidak akan melupakannya,
Walau hanya sebutir pasir yang tersisa,
Tetap akan aku sekat,
Jangan sampai ini terulang lagi,
Sebelum kau membayar hutangnya
 |
Pic. from [here]
*Rahasia*
|
*Untung novel yang aku kasih pinjam ke teman lainku itu tidak jatuh ke selokan saat ia barusan turun dari langganan angkutanku. Jika buku itu terperosok ke selokan, ia harus bertanggung jawab dan ditagih hutang.*
0 Komentar:
Posting Komentar